11/13/2009

OSTEOPOROSIS : SUATU PROBLEMATIK PADA MASA KLIMAKTERIUM DAN MENOPAUSE


  I.   PENDAHULUAN

Kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan memberi dampak positif terhadap kesehatan manusia. Banyak ‘misteri’ penyakit dimasa lalu, kini telah terungkap sehingga usia harapan hidup dapat ditingkatkan. Kemajuan kesehatan juga ditopang oleh keberhasilan pembangunan ekonomi dan kesejahteraan. Maka sewajarlah bahwa jumlah lanjut usia di Indonesia kini meningkat. Namun jumlah yang banyak bukanlah titik akhirnya. “Tua dan berkualitas” itulah semboyan wujud perhatian kita terhadap generasi pendahulu.
  Klimakterium adalah suatu periode dimana terjadi penurunan fungsi ovarium yang dimulai pada umur 40 tahun. Klimakterium merupakan keadaan yang berlangsung beberapa tahun sebelum dan sesudah menopause. Saat awalnya tidak dapat disamaratakan, tetapi kira-kira 6 tahun sebelum menopause (ketika kadar hormon estrogen mulai turun dan hormon gonadotropin naik) dan bila ada gejala-gejala klinis. Karakteristik klimakterium tampak dengan penurunan fertilitas dan atropi jaringan yang progresif dan penurunan produksi estrogen. Puncak klimakterium adalah menopause yang didefinisikan sebagai penghentian menstruasi. Nilai median umur menopause di Amerika Serikat adalah 51 tahun dengan interval 45 sampai 55 tahun. Menopause sebelum umur 40 tahun dinyatakan sebagai kegagalan ovarium prematur. Diagnosa menopause dibuat jika dicurigai pada penderita dengan kelompok umur tersebut dimana mempunyai gejala amenore 6 sampai 12 bulan. Gambaran utama menopause adalah penurunan folikel-folikel ovarium. Hal ini diawali dengan ketidakmampuan ovarium untuk berespon terhadap gonadotropin dan penurunan produksi estrogen, progesteron dan androstenedione oleh ovarium. Bahkan pada masa perimenopause sebagai awal menopause, wanita mempunyai tingkat estradiol yang rendah, tingkat FSH yang tinggi. Wanita pada kelompok umur ini sering menampakkan gejala anovulasi atau oligo-ovulasi. Walaupun ovulasi terjadi, kualitas ovum menurun sejalan dengan bertambahnya umur wanita tersebut. Hal ini akan tampak pada penurunan fertilitas dan peningkatan insiden abnormalitas kromosom pada embrio jika fertilisasi tetap terjadi. Selanjutnya penurunan produksi progesteron akan memberikan gambaran pemendekan siklus menstruasi dan perdarahan yang tidak teratur.1
Wanita dalam masa postmenopause mempunyai kadar gonadotropin yang meningkat dan penurunan kadar estrogen, progesteron, dan androgen. FSH meningkat sebanyak 10 – 20 unit, dimana kadarnya yang melebihi 40 mIU/ml merupakan nilai diagnostik untuk menopause.2,3
Kejadian osteoporosis merupakan hal yang sangat penting dalam mempengaruhi peningkatan usia harapan hidup wanita dan kejadian patah tulang paha yang berkaitan dengan mortalitas. Kenaikan usia harapan hidup manusia yang pada tahun 2000 – an ini akan mencapai usia 70 tahun, merupakan keberhasilan kita dalam bidang kesehatan. Baru-baru ini usia harapan hidup wanita adalah 78 tahun. Dampak lain yang terjadi dari kenaikan usia ini secara alamiah akan berhubungan dengan pengurangan sejumlah jaringan tulang dimana hal ini akan lebih nampak pada wanita (6 – 8 kali) bila dibandingkan dengan pria.1,2 Bertambahnya usia secara normal pada seorang wanita berhubungan dengan kehilangan sejumlah jaringan tulang yang disebut osteopenia dan apabila berlangsung terus menerus disebut osteoporosis. Usia rata-rata menopause  antara wanita perokok dengan wanita tak merokok akan menunjukkan perbedaan yang bermakna yaitu pada wanita perokok akan mengalami menopause 2 tahun lebih awal dibandingkan dengan wanita tidak merokok.2,4
Dengan bertambah baiknya kehidupan manusia maka umur manusiapun meningkat, hal tersebut juga terjadi di Indonesia. Angka harapan hidup di Indonesia juga naik dari umur 48 tahun pada tahun 1971 menjadi 68,7 tahun di tahun 1995. Dengan demikian kita akan banyak sekali mempunyai penduduk dengan umur yang tinggi dimana sudah terjadi perubahan-perubahan hormonal, terutama pada wanita, yang  merupakan dilema bagi dokter untuk memastikan jenis pengobatan  terbaik pada usia 50 tahun untuk pencegahan osteoporosis yang akan terjadi pada usia 70 – 80 tahun.2,5,6
Pada masa menopause terjadi penurunan kadar estrogen. Hormon ini mempengaruhi resorpsi tulang yaitu menghambat proses tersebut sehingga dapat dimengerti bahwa pada fase menopause terjadi penurunan kadar estrogen, proses kerapuhan tulangpun akan  menjadi cepat.5,6
Osteoporosis adalah suatu keadaan dimana masa tulang atau kepadatan tulang per unit volume tulang berkurang (decrease bone density and mass), mikro arsitektur jaringan tulang menjadi jelek dan mengakibatkan peningkatan fragilitas tulang dengan akibat risiko untuk terjadinya patah tulang.2,4,5,6,7,8,910
Secara etnik dikatakan bahwa golongan kulit putih lebih sering menderita osteoporosis dari pada golongan kulit hitam dan diduga orang Timur mempunyai risiko osteoporosis cukup tinggi. Secara epidemiologik, osteoporosis merupakan penyakit yang dapat dicegah pada wanita yang mengalami periode perimenopause. Osteoporosis menyerang 20 juta wanita di Amerika Serikat, terbanyak pada wanita perimenopause dan wanita berusia 45 tahun, didapatkan 250.000 kasus pertahun dengan patah tulang paha. Pada wanita usia 45 tahun didapatkan 1,3 juta kasus pertahun dengan patah tulang oleh karena osteoporosis. Dengan perincian yaitu : wanita kulit putih 15% patah tulang paha dan 15% patah tulang lengan atas bagian distal pada usia 50 tahun.2,3
Pada studi epidemiologi, kejadian osteoporosis terbanyak terjadi pada tulang belakang diikuti tulang paha kemudian tulang pergelangan, tulang dada, tulang humerus dan tulang panggul.  Khusus wanita pada usia klimakterium kadar estrogen mulai menurun sehingga terjadi gangguan keseimbangan antara osteoklas (penghancur tulang) dan osteoblas (pembentukan tulang).  Gejala adanya defisiensi estrogen adalah “hot flushes”, rasa tidak menyenangkan pada vagina dan gejala gangguan miksi akibat vagina yang kering.  Terjadinya peningkatan insiden osteoporosis dan penyakit jantung akan meningkat pada dekade ke 6 dan 7 kehidupan.  Dahulu dikatakan efek estrogen yang menyebabkan gangguan resorpsi jaringan tulang terjadi secara tidak langsung karena terbukti tidak ditemukannya reseptor estrogen di tulang.  Tetapi pada penelitian akhir-akhir ini terbukti bahwa adanya reseptor estrogen di sel tulang.  Hal ini membuktikan adanya efek langsung estrogen di tulang terutama pada proses osteoblas.  Penelitian klinis pada wanita klimakterium menunjukkan bahwa defisiensi estrogen merupakan faktor utama tetapi bukan merupakan faktor dasar dalam berkembangnya osteoporosis.  Penggunaan estrogen tidak seluruhnya menurunkan risiko terjadinya patah tulang tetapi secara bermakna dapat menurunkan kejadian osteoporosis.  Selain hormon estrogen, peranan paratiroid hormon (PTH), vitamin D dan kalsitonin sangat mempengaruhi masa depan wanita yang nantinya akan mencapai usia di atas 80 tahun.  Ini berarti bahwa wanita Indonesia akan menjalani kurang lebih sepertiga masa hidupnya dalam keadaan kekurangan estrogen yang disertai hilangnya massa tulang sampai 50%.  Pada wanita yang mengalami menopause dini risiko osteoporosis menjadi lebih besar.2,3,6,9,11,12        
 Faktor risiko tinggi untuk terjadinya osteoporosis yaitu : riwayat keluarga, ras kulit putih / Asia, perokok, peminum alkohol dan kopi.  Semua faktor risiko ini akan menyebabkan penurunan kadar massa tulang dan mempercepat proses normal kehilangan tulang pada periode postmenopause.  Apabila pengukuran kepadatan tulang menunjukkan massa tulang yang rendah, maka individu ini akan mengalami risiko tinggi untuk terjadinya patah tulang di masa yang akan datang.  Perbedaan kepadatan tulang ini penting sebagai petunjuk mulainya pengobatan.2,13 
Penulisan referat ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran secara menyeluruh tentang permasalahan osteoporosis yang dihadapi pada wanita masa klimakterium  dan menopause serta sedikit menyinggung bagaimana terapi hormonal dan non-hormonal yang dapat dilakukan untuk mengurangi proses terjadinya osteoporosis tersebut sebagai akibat rendahnya kadar estrogen pada masa klimakterium tepatnya pada post menopause dan upaya pencegahannya.

II. TULANG

A.  Susunan tulang

Tulang adalah jaringan hidup dengan matriks protein kolagen yang telah diresapi oleh garam-garam mineral, khususnya fosfat dan kalsium. Tulang menyokong tubuh dan memegang peranan penting pada homeostatis mineral, khususnya fosfat dan kalsium. Protein dalam serabut-serabut kolagen yang membentuk matriks tulang adalah kompleks. Jumlah yang adekuat dari protein dan mineral keduanya harus tersedia untuk mempertahankan struktur tulang yang normal. Mineral dalam tulang sebagian besar  dalam bentuk hidroksiapatit. Garam ini membentuk kristal yang ukurannya 20 per 3 – 7 nm. Natrium dan sejumlah kecil magnesium dan karbonat juga terdapat dalam tulang.14
Secara histologis terdapat 3 jenis tulang. Tulang kompakta ditemukan pada badan tulang-tulang panjang dan permukaan luar tulang-tulang pipih. Ia tersusun dalam gabungan silinder-silinder tulang sekitar pembuluh darah sentral yang dinamakan osteon atau sistem havers. Cancellous bone yang membentuk trabekula yang membatasi rongga sumsum. Woven bone merupakan bentuk tulang imatur yag juga ditemukan pada tempat-tempat fraktur.14

Tulang adalah selluler dan mendapat vaskularisasi yang baik, aliran darah total tulang pada manusia diperkirakan kira-kira 200 – 400 ml / menit. Selama hidup, mineral dalam rangka secara aktif diadakan pertukaran, dan tulang secara konstan diresorpsi dan dibentuk kembali. Turnover kalsium dalam tulang kecepatannya 100 % pertahun pada bayi dan 18 % pertahun pada orang dewasa.14,15
Sel-sel dalam tulang yang terutama berhubungan dengan pembentukan dan resorpsi tulang adalah osteoblast, osteosit, dan osteoklas. Osteoblast adalah sel pembentuk tulang yang mengsekresi kolagen, membentuk matriks sekitar mereka sendiri yang kemudian mengalami kalsifikasi. Osteosit adalah sel-sel tulang yang dikelilingi oleh matriks yang telah mengalami kalsifikasi. Mereka mengirimkan tonjolan-tonjolannya kedalam kanalikuli yang bercabang-cabang diseluruh tulang. Osteoklas adalah sel multinuklear yang mengerosi dan meresorpsi tulang yang sebelumnya terbentuk. Osteoklas sekarang dianggap berasal dari stem sel hemopoitik melalui monosit. Mereka tampak memfagositosis tulang, mencernakannya dalam sitoplasmanya; itulah sebabnya mengapa tulang sekitar osteoklas aktif mempunyai sifat berkerut atau pinggir yang seperti terkunyah. Osteoblas sebaliknya berasal dari sel osteoprogenitor yang berasal dari mesenkim. Osteoblas membentuk matriks tulang dan, bila mereka dikelilingi tulang baru, menjadi osteosit. Akan tetapi osteosit akan tetap berhubungan satu dengan lainnya dan dengan osteoblas  melalui tonjolan-tonjolan sitoplasma yang panjang yang berjalan melalui saluran-saluran pada tulang. Osteoblas, osteoklas dan osteosit semuanya dipengaruhi oleh hormon-hormon yang mengatur struktur tulang.14,15,16
Tulang menjadi keras dan kuat oleh karena terdiri dari serat-serat struktur protein yang bergabung dengan kristal kalsium fosfat yang keras.  Tulang menunjang badan, melindungi organ-organ vital, tempat perlekatan otot-otot dan tempat simpanan mineral aktif (antara lain kalsium).  Bentuk tulang berbeda-beda sesuai   dengan   fungsinya, 80%   berbentuk   padat  dan  20%  berbentuk karang ( bunga karang, trabekular ).3,8
Tulang mempunyai beberapa stimulator sel-sel tulang dan bermacam-macam protein yang segera membentuk perbaikan apabila terjadi kerusakan tulang maupun proses rutin perubahan-perubahan tulang.  Semua tulang akan melalui siklus perubahan tulang yang sesuai dengan siklus kehidupan.   Perubahan ini diatur oleh sistem hormonal dan faktor-faktor lokal yang dimulai dengan tulang, mekanisme pelepasan kalsium bersirkulasi dan terjadinya perbaikan tulang.  Perubahan tulang (remodeling) ini melalui beberapa fase yaitu : fase istirahat, fase aktivasi, fase osteoklas,  fase  resorpsi,  fase  perbaikan dan fase osteoblas (gambar 2).3,7,17

Osteoklas, seperti telah dijelaskan diatas, adalah “giant cell” yang berinti banyak, derivat dari monosit-makrofag dengan ukuran diameter 20 – 100 mikron.  Ditemukan pada permukaan tulang yang menimbulkan proses erosi atau resorpsi, dimana osteoklas ini akan membentuk lubang-lubang disebut lakuna.  Osteoklas akan meningkat dalam hal jumlah dan aktifitas yang dipengaruhi oleh hormon paratiroid dan 1,25 vitamin D, dan akan menurun di bawah pengaruh kalsitonin.  Sitoplasmanya mengandung enzim lisosom yang disekresikan ke permukaan tulang dan menimbulkan proses resorpsi.  Satu sel osteoklas dapat menghancurkan 100 – 150 sel osteoblas dari sejumlah tulang.  Sedangkan osteoblas merupakan derivat dari sel mesenkim, ditemukan pada permukaan tulang yang mengalami proses pertumbuhan dan perubahan (remodeling).18,19
B.  Kepadatan Tulang ( Densitas Tulang )
Kepadatan tulang erat hubungannya dengan kekuatan tulang dan perubahan-perubahan tulang yang terjadi selama kehidupan.  Kepadatan tulang meningkat selama periode pertumbuhan wanita, dan tetap berlangsung walaupun pertumbuhan tulang telah berhenti.  Pada wanita usia 35 – 40 tahun dengan menstruasi yang teratur, kepadatan tulang tidak meningkat atau menurun.   Pertumbuhan tulang mencapai puncaknya pada usia 25 – 35 tahun untuk tulang-tulang trabekular ( antara lain tulang belakang ) dan pada usia 35 – 40 tahun untuk tulang-tulang kortikal.  Setelah pematangan tulang selesai, kehilangan tulang dimulai dan berlangsung terus sampai usia 85 – 90 tahun.3,6,7,20
Pada periode menopause, kepadatan tulang trabekular akan menurun pada tulang belakang yaitu 1 – 8 % pertahun dan pada leher tulang paha terjadi penurunan  tulang  kortikal  sebesar 0,5 – 5 % pertahun.  Kehilangan tulang pada 5 – 10 tahun setelah mengalami menopause sebesar 0,5 % pertahun (tabel 1).1,6   Seorang  wanita selama kehidupannya akan kehilangan 40 – 50 % jumlah tulang secara keseluruhan.  Sedangkan pada pria hanya sebesar 20 – 30 %.3,7  
            ---------------------------------------------------------------------------------------------------
1.      Tulang trabekular
( tulang belakang, leher tulang paha, tulang radius bagian bawah)
-          Bertambah sampai usia 35 – 40 tahun
-          Berkurang mulai usia 40 – 45 tahun:
·  45 – 50 tahun : pengurangan rata-rata 0,5 – 1,0%
·  50 – 60 tahun : pengurangan rata-rata 3,0 – 5,0%
·  > 60 tahun      : pengurangan rata-rata 0,5 – 1,0%
2.      Tulang kortikal
( tulang-tulang panjang pada lengan dan tungkai )
-          Bertambah sampai usia 35 – 40 tahun
-          Berkurang mulai usia 40 – 50 tahun : rata-rata 0,5%
   --------------------------------------------------------------------------------------------------------
Tabel 1: Perubahan massa tulang berhubungan dengan umur
        Dikutip dari Osteoporosis, Jones DL.7

Banyaknya  kehilangan massa tulang pada wanita, selain disebabkan kenaikan / tuanya usia dihubungkan juga dengan penurunan kadar estrogen dalam darah karena penurunan fungsi dan terhentinya fungsi ovarium dan diduga penurunan hormon progesteron ikut berperan.  Pada wanita postmenopause jumlah kehilangan tulang trabekular melebihi tulang kortikal.2,3,8,21
Pada wanita usia menopause sampai usia 70 tahun, kejadian patah tulang oleh karena osteoporosis sering terjadi pada tulang belakang dan pergelangan tangan, dan setelah usia 70 tahun patah tulang collum femur akan meningkat.  Patah tulang belakang menyebabkan “back pain” sebesar 5 – 10 % pada wanita usia 70 tahun.  Fraktur Colley’s pada pergelangan tangan sebesar 4 – 9 % pada wanita usia kurang dari 70 tahun.7,9,22
Insiden patah tulang paha akan meningkat secara dramatis pada usia 70 tahun, terjadi 300 per 10.000 pada wanita usia 80 tahun dan 500  per 10.000 pada wanita usia 90 tahun.7

C.  Vitamin D dan Hidroksikolekalsiferol

Transport aktif Ca2+ dan fosfat dari usus dinaikkan oleh metaboit vitamin D. Istilah vitamin D dipakai untuk mewakili sekelompok sterol yang sangat erat hubungannya dengan yang dihasilkan oleh pengaruh sinar ultraviolet pada provitamin tertentu. Vitamin D3 yang juga dinamakan kolekalsiferol, dibentuk dalam kulit mamalia dari 7 –dehidrokolesterol oleh pengaruh sinar matahari. Reaksi menyebabkan pembentukan senyawa yang berhubungan erat, previtamin D3 dengan cepat, dan perubahan previtamin menjadi vitamin D3 yang lebih lambat. Vitamin D3 juga dicernakan dalam diet. Dalam hati vitamin D3 diubah menjadi suatu metabolit, 25-hidroksikolekalsiferol. 25-hidroksikalsiferol selanjutnya diubah dalam ginjal menjadi metabolit yang secara fisiologis aktif, 1,25 dihidroksikolekalsiferol. Hidroksikolekalsiferol yang diangkut dalam plasma berikatan dengan protein pengikat-globulin. Kadar 25-hidroksikolekalsiferol plasma normal sekitar 30 mg/ml, dan kadar 1,25 dihidroksikolekalsiferol kira-kira 0,03 ng/ml ( kira-kira 100 pmol/L).14,23

III.  OSTEOPOROSIS

Seperti telah dikemukan sebelumnya osteoprosis adalah suatu keadaan dimana masa tulang atau kepadatan tulang per unit volume tulang berkurang (decrease bone density and mass), mikro arsitektur jaringan tulang menjadi jelek dan mengakibatkan peningkatan fragilitas tulang dengan akibat risiko untuk terjadinya patah tulang.
Osteoporosis dibagi menjadi :2,4,6
1.      Osteoporosis primer : dihubungkan dengan kekurangan hormon dan kenaikan usia serta ketuaan, dibagi menjadi 2 yaitu :
a.       Osteoporosis primer tipe I atau osteoporosis post menopause: dihubungkan dengan kenaikan usia dan terjadi pada wanita setelah mengalami menopause selama 15 – 20 tahun serta dihubungkan dengan peningkatan kehilangan tulang.
b.      Osteoporosis primer tipe II: dihubungkan dengan osteoporosis senilis yang terjadi kehilangan tulang secara lambat. 
2.      Osteoporosis sekunder : disebabkan oleh berbagai keadaan klinis tertentu.
Osteoporosis  primer tipe I lebih sering terjadi pada usia 53 – 75 tahun, wanita 6 – 8 kali lebih sering daripada pria dan kehilangan jaringan tulang trabekular lebih banyak daripada tulang kortikal.  Penyebab utama pada wanita adalah turunnya hormon estrogen, absorpsi kalsium rendah dan fungsi paratiroid menurun.4
        Osteoporosis primer tipe II lebih sering terjadi pada usia 75-85 tahun, wanita dua  kali lebih sering dibandingkan pria.  Kehilangan jaringan trabekular sama banyak dengan jaringan kortikal.  Penyebab utama adalah proses penuaan, absorsi kalsium menurun dan fungsi paratiroid meningkat.4
A.    Patofisiologi Osteoporosis
Fase-fase perubahan tulang dipengaruhi oleh proses hormonal dan proses-proses lokal yang terjadi dalam tulang sendiri.  Tulang mengalami “remodeling” terus menerus dalam pertumbuhannya.  Proses ini terjadi di dalam massa tulang yang dikenal sebagai “bone remodelling units”.  Tulang secara umum terdiri dari zat organik dan anorganik.  Zat organik sebanyak 30 % terdiri dari matriks kolagen dan kolagen nonglikoprotein, fosfoprotein, fosfolipid dan mukopolisakarida yang bersama-sama membentuk osteoid yang terdiri dari kurang lebih 95 % dari total volume, sedangkan 5 % dari organik terdiri dari sel-sel osteoblas.5,9,10,24
Siklus “remodeling” dimulai oleh osteoklas, timbul pada permukaan tulang yang sebelumnya inaktif dan mengabsorpsi jaringan tulang dengan melepaskan asam dan enzim-enzim proteolitik, mengakibatkan terbentuknya rongga mikroskopik (lakuna howship).9,18  Osteoklas menghilang dan sel-sel pembentuk tulang (osteoblas), mengadakan migrasi ke daerah ini dan mengganti kekurangan dengan matriks organik yang telah mengalami mineralisasi.  Sebagian osteoblas menjadi bagian dari matriks dan dikenal sebagai osteosit, sedangkan sisa-sisanya berangsur-angsur berubah bentuk, menjadi sel pembatas.  Tulang yang baru terbentuk masih terus mengalami mineralisasi.  Untuk satu proses “remodeling” sempurna melalui waktu 4 – 6 bulan.9,25
     Pada masa pertumbuhan proses “remodeling” berlangsung cepat dan tulang yang terbentuk lebih besar dari tulang yang hilang.  Proses “remodeling” berlangsung lebih cepat pada tulang trabekular bila dibandingkan dengan tulang kortikal.  Pada seorang dewasa muda yang tidak tumbuh lagi jumlah matriks yang hilang seimbang dengan jumlah matriks yang terbentuk.  Walaupun mekanisme hilangnya tulang yang tepat belum diketahui, osteoporosis terjadi karena terdapat gangguan proses “remodeling” sehingga resorpsi jaringan tulang melebihi pembentukannya, sehingga secara keseluruhan terjadi kehilangan tulang.9,25     

B.    Faktor Predisposisi Osteoporosis

Wanita lebih berisiko untuk terjadinya osteoporosis daripada pria, hal ini dapat dijelaskan dengan 2 parameter penting :26,27
1.   Peak Bone Mass (PBM) = Massa tulang maksimal
PBM tercapai pada usia awal 30-an dimana PBM pria > 30-50% dibandingkan wanita.
2.   Kecepatan hilangnya tulang
Pada perimenopause wanita mulai mengalami percepatan kehilangan massa tulang.
Keseimbangan tulang merupakan hasil dari formasi dan resorpsi (degradasi). Pada usia menopause akibat defisiensi estrogen resorpsi akan lebih cepat dibandingkan  formasi sehingga akhirnya lebih banyak bagian tulang yang hilang dan mudah untuk terjadinya fraktur.

Faktor-faktor predisposisi osteoporosis adalah:7,18
1.      Faktor ras dan genetik.
Dikatakan bahwa wanita kulit hitam lebih sedikit menderita osteoporosis dibandingkan dengan wanita kulit putih atau Asia.  Wanita yang kurus lebih besar kemungkinan untuk mengalami osteoporosis dibandingkan dengan wanita gemuk dan apabila ada riwayat keluarga yang menderita osteoporosis akan memperbesar risiko untuk terkena osteoporosis.
2.      Massa tulang pada awal menopause dan kecepatan hilangnya tulang berhubungan langsung dengan tinggi badan, berat badan dan paritas.
3.      Defisiensi estrogen pada usia fertilitas akan menimbulkan amenore dan menopause yang lebih awal.
4.      Penyakit-penyakit sistemik lainnya berupa: hipertiroid, hiperparatiroid primer dan multiple myeloma.
5.      Perokok akan mempengaruhi metabolisme estrogen.
6.      Faktor diet bisa menyebabkan osteoporosis disebabkan rendahnya input kalsium dan tingginya mengkonsumsi kopi, alkohol dan protein.

V.    PENGOBATAN  PADA  OSTEOPOROSIS

Kesadaran dan menghindari faktor-faktor risiko, disertai diet cukup dan olahraga sangat penting.  Jauh lebih mudah mencegah daripada mengobati osteoporosis, oleh karena itu lebih baik memulai pengobatan sedini mungkin pada wanita yang mempunyai risiko untuk menghindari agar tidak terjadi osteoporosis.9
A.    Estrogen sebagai terapi.
Pengobatan wanita postmenopause dengan estrogen akan menghentikan kehilangan tulang  (perlindungan terhadap terjadinya osteoporosis) pada wanita usia 50, 60 atau 70 tahun.  Terapi estrogen dihentikan bila tidak ada peningkatan massa tulang.  Pengobatan dengan estrogen memberikan gambaran efek terapi pada kasus osteoporosis.4,11,12  Estrogen dianggap dapat menghambat resorpsi tulang, terapi  pemberian estrogen sebagai pencegahan terhadap osteoporosis berdasarkan observasi sebagai berikut :5,20,28

1.         Kejadian osteoporosis meningkat postmenopause
2.         Wanita yang mengalami ooforektomi bilateral memperlihatkan gejala osteoporosis lebih dini dan hebat
3.         Penderita yang mengalami osteoporosis umumnya berkurang dengan pemberian estrogen
Pemberian estrogen merupakan dasar pencegahan dan pengobatan kehilangan tulang postmenopause.  Studd dkk. telah membuktikan bahwa terdapat korelasi bermakna antara kadar estradiol dengan persentasi kenaikan densitas  tulang belakang 1 tahun setelah pemberian implan 75 mg estradiol dan 100 mg testosteron.9,26
Pemberian estrogen oral, transdermal atau implan kesemuanya dapat meningkatkan densitas tulang secara bermakna dan secara epidemiologik dibuktikan bahwa terapi ini menurunkan angka kejadian patah tulang oleh karena osteoporosis pada panggul dan tulang punggung.9,26
Belum ada kesepakatan, bagaimana estrogen dapat mencegah kehilangan tulang dan masih merupakan teori.  Kemungkinan estrogen mencegah osteoporosis dengan cara sebagai berikut : 7,18,22,28
1.      Estrogen menempati reseptor osteoklas yang akan mempengaruhi fungsi osteoklas dalam menurunkan kehilangan tulang.
2.      Estrogen menurunkan kecepatan perubahan tulang normal yang menyebabkan efek positif terhadap keseimbangan kalsium.
3.      Estrogen akan memperbaiki absorpsi kalsium.
4.      Estrogen mengatur produksi interleukin 1 dan 6 yang merupakan “bone resorbing”.  Estrogen juga mengatur bahan-bahan yang merangsang pembentukan tulang seperti Insulin like growth factor I dan II, serta Growth factor beta. 
5.      Estrogen merangsang sintesa kalsitonin yang dapat menghambat resorpsi tulang.
6.      Estrogen meningkatkan reseptor vitamin D di osteoblas.
Ada beberapa keadaan yang harus diperhatikan sebelum memulai pemberian estrogen pada wanita untuk mencegah proses osteoporosis yang progresif  antara  lain adalah keadaan tekanan darah, hasil pemeriksaan sitologi (pap’s smear), pembesaran uterus, adanya varises yang berat di ekstremitas bagian bawah, adanya obesitas, fungsi kelenjar tiroid ( BMR ), kadar Hb, kolesterol total, HDL, trigliserida, kalsium, fungsi hati.29,30
Beberapa   prinsip    pemberian    estrogen   yang   dapat   dijadikan  patokan adalah :29,31
1.         Mulailah selalu dengan estrogen lemah ( estriol ) dan dengan dosis rendah yang efektif.
2.         Pemberian estrogen dilakukan secara siklik.
3.         Usahakan selalu pemberian estrogen dikombinasi dengan progesteron.
4.         Perlunya diberikan pengawasan ketat selama pemberian (6 – 12 bulan)
5.         Apabila selama pemberian estrogen tersebut terjadi perdarahan atopik, maka perlu dilakukan dilatasi dan kuretase.
6.         Dilakukannya kerjasama dengan bagian Penyakit Dalam apabila dalam masa pengobatan atau sebelum masa pengobatan ditemukan adanya keluhan nyeri dada, hipertensi kronik, hiperlipidemia, dan Diabetes Mellitus atau peningkatan kadar gula darah.
Secara epidemiologik manfaat estrogen dalam pengobatan hormon pengganti pada wanita dapat menurunkan risiko terjadi patah tulang belakang sampai 90% dan fraktur Colley’s dan paha sampai 50%.7,18
Dosis minimum estrogen yang disarankan untuk mempertahankan tulang adalah 0,625 mg dan 1 – 2 mg estradiol per hari dan hanya diperlukan setengah dosis bila digabung dengan kalsium.4,6,8  Dari kepustakaan dikatakan bahwa pemberian estrogen jangka pendek sekitar 6 – 10 tahun tidak efektif, sedangkan pemberian 7 tahun saja hanya memberikan efek pencegahan patah tulang panggul selama 10 – 20 tahun.5
Adapun standar dosis estrogen yang dibutuhkan untuk mencegah kehilangan massa tulang adalah sebagai berikut :1

Tabel 2. Standar dosis estrogen yang dianjurkan
Estrogen
Standar dosis
1.         Conjugated equine oestrogens
2.         Piperazine oestrone sulphate
3.         Oestradiol valerate
4.         Oestradiol transdermal
5.     Oestradiol implant
0,625 mg
1,25 mg
1 – 2 mg / hari
50 mg 2 kali seminggu
50 – 100 mg selama 6 – 8 bulan
Dikutip dari: J. of Pediatrics, obstet.gyn May / June 1993
Ada beberapa rute pemberian estrogen sebagai terapi sulih hormon, yaitu :1
1. Oral : tablet kombinasi yang terpisah atau tergabung antara estrogen dan progestogen.
2. Parenteral : transdermal (patch atau jel), implan subkutan, injeksi intramuskular, krim/tablet topikal.
Estrogen oral mengalami metabolisme lintas pertama di hati, diubah menjadi estron. Campuran estron dan estradiol (30 %) banyak dibuang lewat empedu. Untuk mengatasi bioavailabilitas yang rendah ini, preparat terapi sulih hormon oral mengandung estrogen dengan dosis lebih tinggi dibandingkan dosis dalam sediaan transdermal.26
 Terapi  sulih  hormon  yang  ideal adalah yang mencakup beberapa hal yaitu :29,32
1.   Meredakan gejala klimakterium
2.   Melindungi endometrium
3.   Mengatur siklus dengan baik
4.   Mencegah osteoporosis
5.   Protektif terhadap pembuluh darah otak dan jantung
6.   Tidak meningkatkan risiko kanker payudara
7.   Mudah diaplikasi
Dosis  minimum  pemberian    transdermal  untuk   mencegah hilangnya tulang 50 ig/hari dan telah dibuktikan bahwa dosis terendah penggunaan implan adalah 25 mg, akan meningkatkan densitas tulang punggung 5,56 % dan tulang panggul 3,34 %.  Terdapat beberapa bukti bahwa progesteron juga meningkatkan massa tulang.  Mungkin mempunyai efek sinergik  pada pengobatan kombinasi, tetapi jelas tidak dapat menggantikan estrogen.7,9,18  Efek pemberian estrogen bukan hanya sementara, tetapi berlangsung terus selama pemberiannya diteruskan.9  Pencegahan osteoporosis ini sangat tergantung pada densitas massa tulang pada saat wanita tersebut dalam masa pertumbuhan.  Pemberian kalsium yang cukup pada masa pertumbuhan, menghindari rokok, menghindari alkohol dan olahraga yang cukup akan memperbaiki massa tulang.  Massa tulang yang terbentuk dengan baik pada saat pertumbuhan ikut berperan terhadap pencegahan osteoporosis pada usia lanjut.  Sebaliknya wanita-wanita dengan menopause prekoks baik secara alami atau akibat operasi ( bilateral salfingoooforektomi ), wanita dengan pengobatan kortikosteroid yang lama, oligo atau amenore berat, riwayat ( keluarga ) patah tulang patologis / osteoporosis, merupakan wanita berisiko tinggi untuk terjadinya osteoporosis dan merupakan indikasi kuat untuk diberikan pengobatan hormon pengganti.22
Yang perlu diketahui dari pengobatan dengan mempergunakan estrogen ini adalah bahwa tidak semua keluhan dapat dihilangkan hanya dengan estrogen, sehingga perlu dicari juga faktor-faktor lain  yang dapat menimbulkan keluhan seperti adakah faktor psikis, sosiobudaya, atau memang benar kekurangan estrogen sehingga apabila memang ada maka harus diterapi sesuai dengan faktor penyebabnya.29
B.    Jenis dan  dosis pengobatan dengan estrogen dan progesteron
Pemberian jenis estrogen dan progesteron berikut mempunyai keuntungan bahwa dapat diberikan jangka panjang karena efek terhadap endometrium sangat lemah, jarang terjadi perdarahan dan risiko keganasan hampir tidak ada.

Tabel 3. Terapi sulih hormon dengan dosis anjuran
Hormon
Dosis ( mg )
Estrogen :
1.      Estradiol valerat ( Progynova )
2.      Etinil estradiol ( Lynoral )
3.      Estrogen konjugasi ( Premarin )
4.      Estriol ( Synapause )

2 – 4
0,01 – 0,02
0,625 – 1,25
2 – 8
Progesteron :
1.      Medroksi progesteron asetat ( Provera )
2.      Didrogesteron ( Duphaston )
3.      Noretisteron ( Primolut N ),
      Linestrenol ( Endometril )

5 – 10
10
5
Sumber : Klimakterium dan Menopause, Ali Baziad 29
C.   Cara pemberian
Ada dua bentuk pasien yang dapat diberikan dengan jenis pengobatan estrogen dan progesteron ini yaitu :29
1.      Haid masih teratur, tidak teratur ( pramenopause ), tetapi telah ada  keluhan.
Termasuk dalam kelompok ini juga pasien yang tidak pernah haid lagi, tetapi pada setiap pemberian estrogen atau progesteron terjadi perdarahan.
2.      Sudah lama tidak haid, diberikan estrogen / progesteron juga tidak haid.
Uterus tidak bereaksi terhadap estrogen / progesteron. Termasuk dalam kelompok ini pasien – pasien yang telah diangkat uterusnya ( operasi ).
Pengobatan kelompok pertama
Pengobatan kelompok ini perlu dicapai siklus haid yang bifasik ( haid normal ). Ada beberapa cara pemberian :
1.      Estrogen hari kelima sampai 30 siklus haid,
Progesteron hari ke 20 – 30 siklus haid.
2.      Pil KB yang mengandung Estrogen dan Progesteron.
Setelah beberapa bulan pengobatan dihentikan, lihat apakah haid kembali normal dan keluhan hilang. Hal ini penting untuk memutuskan apakah pengobatan perlu dilanjutkan atau tidak.
Pengobatan kelompok kedua.
Ada beberapa cara pemberian :
1.      Cukup pemberian estrogen saja (terutama estradiol)
Diberikan selama 3 minggu ( 1 minggu istirahat )
2.      Pemberian estrogen lemah dengan progesteron
Hal  ini  mengingat  estrogen  saja  dapat  mempengaruhi   payudara  (bahaya keganasan ).
Ada beberapa cara pemberian yang termasuk dalam kelompok kombinasi ini, yaitu :
a.    Estrogen sepenuhnya satu siklus dengan progesteron pada hari 1 – 14 siklus haid.
b.   Estrogen hari 1 – 21 siklus haid dan progesteron hari 10 – 21 siklus haid.
c.    Estrogen sepenuhnya satu siklus dengan progesteron hari 12 – 25 siklus haid dimana akan terjadi withdrawal bleeding pada hari  31.
d.   Estrogen hari 1 – 14 siklus haid dan progesteron hari 14 – 21 siklus haid dimana akan terjadi withdrawal bleeding dapa hari 31.
e.    Estrogen pada hari 20 – 60 hari dan progesteron hari 12 – 24 siklus haid.
D.   Efek samping terapi hormonal.
Efek samping yang ditimbulkan akibat pemberian terapi hormonal ini umumnya tidak hebat apabila selama pengobatan diberikan juga progesteron. Adapun hal-hal yang dapat timbul selama pengobatan adalah :28,30
1.      Perdarahan bercak
Estrogen yang diberikan biasanya dengan dosis rendah, sehingga dapat dinaikkan dengan memberikan ½ tablet lagi. Bila dosis progesteron yang tinggi, maka dosisnya dapat dikurangi.
2.      Perdarahan banyak ( atipik )
Perlu dilakukan dilatasi dan kuretase untuk menyingkirkan keganasan. Bila hasil PA menunjukkan hiperplasi adenomatosa, maka pengobatan dilanjutkan dengan progesteron saja, sebanyak 2 X 50 mg selama 3 bulan. Setelah 3 bulan dilakukan mikrokuretase ulang. Bila sembuh dilanjutkan dengan 3 bulan pemberian terapi sekuensial atau secara kombinasi selama 3 bulan untuk mencegah residif. Setelah itu dilakukan mikrokuretase ulang, bila ternyata kambuh lagi, maka lebih baik dipertimbangkan untuk histerektomi. Perdarahan atau hiperplasi biasanya dihubungkan dengan dosis estrogen yang tinggi.
Cara yang mudah untuk mengetahui apakah dosis estrogen yang diberikan tinggi adalah dengan memperhatikan keadaan sebagai berikut :
-          Bila pada pemberian estrogen plus progesteron terjadi perdarahan, berarti dosis estrogen terlalu tinggi.
-          Bila tidak terjadi perdarahan berarti dosis estrogen yang diberikan telah benar.
3.      Mual
Disebabkan dosis estrogen yang tinggi ( pada pemakaiann ethinilestradiol ). Dosisnya dikurangi atau diberikan setelah makan. Bila tetap ada  keluhan, dicoba pemberian pervaginam berupa krim.
4.      Sakit kepala ( migren ), nyeri payudara, leukore, peningkatan berat badan.
Disebabkan dosis estrogen yang tinggi. Dosis estrogen dikurangi. Bila keluhan masih ada, dicoba pemberian estrogen lemah (estriol). Bila keluhan tidak hilang, maka pemberian estrogen dihentikan. Dicoba pemberian pervaginam berupa krim estrogen.
5.      Pruritus berat
Hentikan pemberian estrogen
E.    Kontra indikasi pemberian estrogen1
Ada beberapa kontraindikasi terhadap diberikannya estrogen yaitu :
1.      Penderita dengan tromboemboli, menderita penyakit hati, kolelitiasis
2.   Sindroma Dubin Johnson / Rotor : gangguan sekresi bilirubin konjugasi
3.   Riwayat ikterus dalam kehamilan
4. Kanker  endometrium, kanker mamma, riwayat gangguan penglihatan, anemia berat.
5.      Varises berat, tromboflebitis
6.      Penyakit ginjal.
F.    Pengobatan non hormonal.4
1.      Inhibitor penyerapan tulang
a.       Kalsitonin
Kalsitonin menurunkan kehilangan lebih lanjut tulang pada vertebrae dan femur yang ditemukan pada keadaan osteoporosis, tetapi efeknya pada frekuensi fraktur belum dipublikasikan. Kalsitonin dapat menimbulkan efek analgesik pada penderita dengan kesakitan akut yang terjadi pada fraktur vertebrae. Jenis terapi dalam bentuk suntikan atau semprotan pada hidung (nasal spray). Kalsitonin tampak jelas dalam dalam menghambat kerusakan tulang lebih lanjut pada osteoporosis yang dicetuskan oleh glukokortikoid. Kalsitonin diberikan sebagai terapi alternatif pada wanita yang tidak dapat atau tidak merespon terhadap estrogen.
b.      Bifosfonat.
Data-data menunjukkan bahwa bifosfonat mengurangi kehilangan tulang selama tahun pertama menopause dan penderita yang menngalami osteoporosis karena terapi glukokortikoid.
c.    Kalsium
Pentingnya masukan kalsium pada seluruh fase kehidupan memang sudah dibuktikan. Kalsium merupakan bahan dasar bagi pertumbuhan tulang secara alamiah. Bagaimanapun masukan kalsium yang tinggi tidak akan menggantikan terapi estrogen dalam mengurangi kecepatan kehilangan tulang selama masa klimakterium. Dosis minimal 800 mg kalsium perhari disarankan untuk seluruh orang dewasa. Kebutuhan akan lebih banyak pada anak-anak, remaja, kehamilan, menyusui dan usia tua.
2.      Stimulasi pembentukan tulang
a.    Fluorida
Fluorida menstimulasi osteoblast dan meningkatkan kekompakan massa tulang. Bagaimanapun efeknya pada insiden fraktur masih kontroversi dan mungkin tidak saling berhubungan. Pada penelitian klinik terbaru didapatkan bahwa masukan 75 mg sodium fluorida perhari, akan ditemukan peningkatan massa tulang trabekula pada vertebrae.
b.   Anabolik steroid
Diduga pembentukan anabolik steroid dapat meningkatkan massa tulang pada osteoporosis. Penggunaan jangka panjang dapat mempunyai efek samping termasuk sterilisasi seperti efek sampingnya pada metabolisme karbohidrat dan lemak serta pada fungsi hati.
c.    Hormon parathiroid
Data menunjukkan bahwa adanya peningkatan massa tulang selama penyelidikan klinik berkelanjutan pada penggunaan hormon ini seperti terapi anabolik.
d.      Bahan lain.
Efek positif dari 1,25 dihidroxyvitamin D3 dan 1 a hidroxyvitamin D pada insiden fraktur nyata pada beberapa studi dalam hal subyek osteoporosis yang menunjukkan penyerapan kalsium, terutama pada usia muda dan mereka dengan masukan kalsium rendah.
Suatu kombinasi latihan yang teratur baik dengan masukan kalsium memberi dampak pada pengembangan dan pemeliharaan massa tulang. Sebaliknya latihan yang terlalu berat yang menyebabkan amenore berhubungan dengan kehilangan massa tulang dalam korelasinya dengan insufisiensi ovarium.
Bagaimanapun latihan yang aktif saat muda secara nyata akan memperbaiki fungsi otot dan kemungkinan sedikit untuk dapat jatuh yang dapat menyebabkan fraktur.
V.  PENCEGAHAN  OSTEOPOROSIS
Usaha-usaha yang dapat dilakukan untuk pencegahan terjadinya osteoporosis adalah:18
1.      Peningkatan peak bone mass (umur 0 – 35 tahun)
a.       Masukan kalsium yang adekuat
b.      Latihan yang cukup
c.       Hindari merokok
d.      Pengobatan defisiensi estrogen sesegera mungkin
e.       Hindari pengobatan kortison jika mungkin
  1. Pencegahan kehilangan tulang saat menopause
a.       Terapi sulih hormon estrogen (gold standar)
b.      Masukan kalsium yang adekuat.
Suatu penelitian menyatakan bahwa masukan kalsium 800 – 1000 mg (penelitian lain  1500 mg / hari pada umur labih dari 60 tahun) untuk wanita post menopause sudah cukup adekuat. Ada banyak sumber makanan yang mengandung kalsium tapi tambahan kalsium disarankan untuk individu dengan makanan yang mengandung kalsium rendah.
VI. KESIMPULAN
1.      Klimakterium adalah suatu periode dimana terjadi penurunan fungsi ovarium yang dimulai pada umur 40 tahun dengan karakteristiknya dalah penurunan fertilitas dan atropi jaringan yang progresif dan penurunan produksi estrogen.
2.      Pada masa menopause terjadi penurunan kadar estrogen sehingga proses kerapuhan tulang menjadi cepat.
3.      Osteoporosis adalah suatu keadaan dimana massa tulang atau kepadatan tulang per unit volume tulang berkurang, mikro-arsitektur jaringan tulang menjadi jelek dan mengakibatkan peningkatan fragilitas tulang dengan akibat risiko untuk terjadinya patah tulang.
4.      Pada studi epidemiologik osteoporosis terbanyak pada tulang belakang diikuti tulang paha kemudian tulang pergelangan, tulang dada, tulang humerus dan tulang panggul.
5.      Proses osteoporosis dipengaruhi oleh estrogen, peranan paratiroid hormon, vitamin D dan kalsitonin.
6.      Tulang terdiri dari serat-serat struktur protein yang bergabung dengan kristal-kristal kalsium fosfat yang keras.
7.      Perubahan tulang (remodeling) melalui beberapa fase yaitu: fase istirahat, fase aktivasi, fase osteoklas, fase resorpsi, fase perbaikan dan fase osteoblas.
8.      Pertumbuhan tulang mencapai puncaknya pada usia 25 – 35 tahun untuk tulang-tulang trabekular, dan pada usia 35 – 40 tahun untuk tulang kortikal.
9.      Selama hidupnya seorang wanita akan kehilangan 40 – 50% jumlah tulang secara keseluruhan.
10.  Insiden patah tulang akan meningkat secara dramatis pada usia 70 tahun, terjadi 300 per 10.000 pada wanita usia 80 tahun dan 50 per 10.000 pada wanita usia 90 tahun.
11.  Osteoporosis dibagi 2 yaitu: osteoporosis primer (tipe I dan II) dan osteoporosis sekunder.
12.  Satu proses remodeling sempurna melalui waktu 4 – 6 bulan.
13.  Proses remodeling berlangsung lebih cepat pada tulang trabekular dibandingkan dengan tulang kortikal.
14.  Faktor predisposisi osteoporosis adalah: faktor ras dan genetik, massa tulang pada awal menopause dan kecepatan hilangnya tulang, defisiensi estrogen, hipertiroid, hiperparatiroid dan multiple myeloma, merokok dan faktor diet.
15.  Parameter penting dimana wanita lebih berisiko untuk terjadinya osteoporosis adalah peak bone mass dan kecepatan hilangnya tulang.
16.  Pengobatan wanita postmenopause dengan estrogen akan menghentikan kehilangan tulang dan dihentikan bila tidak ada peningkatan massa tulang.
17.  Belum ada kesepakatan, bagaimana estrogen dapat mencegah kehilangan tulang dan masih merupakan teori.
18.  Dosis minimum estrogen yang disarankan untuk mempertahankan tulang adalah 0,625 mg dan 1 – 2 mg estradiol per hari.
19.  Efek pemberian estrogen bukan hanya sementara, tetapi berlangsung terus selama pemberiannya diteruskan.
20.  Progesteron terbukti meningkatkan massa tulang, bahkan mungkin mempunyai efek sinergis pada pengobatan kombinasi, tetapi jelas tidak dapat menggantikan estrogen.
21.  Jenis pengobatan estrogen dan progesteron mempunyai cara pemberian yang berbeda tergantung pada bentuk pasien yang akan diterapi.
22.  Ada beberapa efek samping pemberian terapi hormonal tapi umumnya tidak hebat selama pengobatan diberikan juga progesteron.
23.  Disamping pengobatan hormonal juga ada pengobatan non hormonal pada osteoporosis ini dalam bentuk inhibitor penyerapan tulang dan stimulasi pembentukan tulang.
24.  Usaha pencegahan terjadinya osteoporosis adalah dengan peningkatan peak bone mass dan pencegahan kehilangan tulang saat menopause.   

VII.  RUJUKAN
1.       Chin HG. On call obstetrics and gynecology. W.B. Saunders company, 1997: 7-18
2.       Ravnikar VA. Hormonal management of osteoporosis. Clin Obstet and Gynecol 1992; 35: 913-922.
3.       Rahman IA, Baziad A, Saifuddin AB. Osteoporosis pada wanita klimakterik dan upaya pencegahannya. Maj Kedok Indon 1992; 42: 522-527
4.       Rahman IA, Bongguk R, Surjana EJ. Peranan Vit. D3, kalsium dan obat hormon pengganti pada penatalaksanaan osteoporosis pascamenopause. Dalam: Kumpulan makalah KOGI X. Bagian Obstetri dan Ginekologi FK. UI/ RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta, 1996; 1-9.
5.       Tanjung FA.  Penanggulangan osteoporosis dilihat dari aspek orthopaedi. Dalam: Makalah lengkap PIT X. Bagian Obstetri dan Ginekologi FK. UI/ RSUPN Dr. Cito Mangunkusumo Jakarta, 1997; 66-82.
6.       Riggs BL. Pathogenesis of osteoporosis. Am J Obstet Gynecol 1987; 156: 1342-1346.
7.       Jones DL.  Osteoporosis. In: Burgen H and Boulet M. A Portrait of the menopause. The Parthenon Publishing Group, 1990; 83-101.
8.       Jones HW, Wentz AC, Burnett LS. Novak’s text book of gynecology.  Eleventh Edition.  William and Wilkins.  Baltimore-Hongkong-London-Sydney, 1988; 420-429.
9.       Prabowo RP. Osteoporosis pada wanita posmenopause.  Maj Obstet dan Gynekol 1997; 6: 1-9.
10.    Mc. Phee SJ, Lingappa VR, Ganong WF, Lange JD.  Pathophysiology of disease an introduction to clinical medicine.  First Edition.  Prentice Hall International Inc.  San Francisco-California, 1995; 414-419.
11.    Snabes MD, Herd Alan MD. In normal postmenopausal womwn physiologic estrogen replacement therapy fails to improve exercise tolerance: A randomized, double-blind, placebo-controlled, crossover trial. Am. J. Obstet Gynecol 1996;175:110-113
12.    Ettinger Bruce MD, Bainton Lori MD. Comparison of endometrial growth produces by unopposed conjugated estrogens or by micronized estradiol in postmenopausal women. Am. J. Obstet Gynecol 1997;176:112-117
13.    Lindsay R, Cosnian F.  Osteoporosis the estrogen relationship.  In: Swartz DP.  Hormone replacement therapy.  Williams and Wilkins.  Baltimore-Hongkong-London-Munich-Philadelphia-Sydney-Tokyo, 1992; 17-53.
14.    Ganong W.F. Fisiologi kedokteran.  Edisi kesepuluh.  EGC Penerbit Buku Kedokteran . Jakarta, 1983; 335-345.
15.    Sites Cynthia K, Calles-escandon Jorge. Relation of regional fat distribution to insulin sensitivity in postmenopausal women. Fertility and sterility 2000;73:61-65.
16.    Rojansky Nathan MD, Ben-Bassat Hannah Ph.D. Induction of bone formation in rat osteoprogenitor cell culture by sera of climacteric women before and after hormone replacement therapy. Fertility and sterility 1999;72:71-75
17.    Norman R Trevor Ph.D, Morse A Carol Ph.D. Comparative bioavailability of orally and vaginally administered progesterone. Fertility and sterility 1991;56:1034-1038.
18.    Christiansen C, Riis BJ.  Postmenopausal osteoporosis.  National osteoporosis society and the european foundation for osteoporosis and bone disease, 1990; 9-16, 27-32, 36-39, 53-75.
19.    Lindsay R, Tohme JF.  Estrogen treatment of patients with established postmenopausal osteoporosis.  Obstet and Gynecol 1990; 76:  290-294.
20.    Lindsay R.  Estrogen therapy in the prevention and management of osteoporosis.  Am J Obstet Gynecol 1987; 156: 1347-1351.
21.    Schmidt J. Peter MD, Nieman Lynnette MD. Estrogen replacement in perimenopause – related depression : A preliminary report. Am. J. Obstet Gynecol 2000;183:414-420
22.    Samsulhadi.  Pengobatan hormon pengganti.  Maj Obstet dan Ginekol 1997; 6: 15-21.
23.    Mukherjee T MD, Barad D MD. A randomized, placebo-controlled study on the effect of cyclic intermittent etidronate therapy on the bone mineral density changes associated with six months of gonadotropin-releasing hormone agonist treatment. Am. J. Obstet Gynecol 1996;175:105-109
24.    Lanes Roberto MD, Gunczler Peter MD. Decreased bone mass despite long-term estrogen replacement therapy in young women with Turner’s syndrome and previously normal bone density. Fertility and sterility 1999;72:896-899
25.    Hillard C Timothy MRCOG, Bourne H Thomas MRCOG. Differential effects of transdermal estradiol and sequential progestrogens on impedance to flow within the uterine arteries of postmenopausal women. Fertility and sterility 1992;58:959-963
26.    Mikkola Tomi MD, Viinikka Lasse MD. Administration of transdermal estrogen without progestin increases the capacity of plasma and serum to stimulate prostacyclin production in human vascular endothelial cells. Fertility and sterility 2000;73:72-74
27.    Mazzaferri L Ernest MD. Evaluation and management of common thyroid disorders in women. Am. J Obstet Gynecol 1997;176:507–513
28.    Serdar Ali MD, Erenus Mithat MD. Effect of a single dose of oral estrogen on left ventrcular diastolic function in hypertensive postmenopausal women with diastolic dysfunction.Fertility and Sterility 2000;73:66–71
29.    Baziad Ali, Rachman A Ichramsjah. Endokrinologi ginekologi. Edisi pertama.  Jakarta: KSERI, 1993; 147-154
30.    Berek  JS,   Adashi   EY, Hillard   PA,  eds.   Novak’s  gynecology.  12th ed. Baltimore: Williams & Wilkins, 1996;981-1011
31.    Griffith Winter MD. Osteoporosis. Complete Guide to symptoms, illness & surgery. 2nd ed. New York: The Putnam Publishing Group 200 Madison Avenue,1985;430
32. Agrawal Rina MRCOG, Prelevic Gordana FRCP. Serum vascular endothelial growth factor concentrations in postmenopausal women: the effect of hormone replacement therapy.Fertility and Sterility 2000;73:56–60
      

     
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

info kesehatan wanita women's health pregnancy obstetric gynaecology obstetri ginekologi